Ini Dia Penjelasan Asta Brata Oleh Anand Krishna Yang Belum Banyak Diketahui Oleh Orang
Anand Krishna tokoh spiritual humanis Indonesia, selalu membagikan pengetahuan dan kebijaksanaan spiritual. Pada suatu kesempatan kembali Beliau membaginkan kebijaksanaan Nusantara yaitu Asta Brata.
Penjelasan yang Beliau sampaikan memberikan kejelasan terkait dengan makna tersembuyi dari Asta Brata, sehingga masyarakat umum dapat mengetahui makna yang mendalam dari Asta Brata.
Berikut ini adalah video “Kuliah Umum ASTA BRATA” semoga apa yang Beliau sampaikan dapat memberikan inspirasi bagi kita semua untuk memperbaiki kualitas kehidupan kita sehari-hari . . .
Buku Kajian Asta Brata Anand Krishna
Bagi Anda yang tertarik untuk mendalami kebijaksanaan Nusantara termasuk dengan Asta Brata ini, Anand Krishna juga mengupas dan membedah Asta Brata di dalam buku. Anda bisa mendapatkannya di dalam buku “Ananda’s Neo SELF – LEADERSHIP – Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern”
Mari sedikit kita mengintip isi buku tersebut, berikut ini adalah sedikit isi dari buku “Ananda’s Neo SELF – LEADERSHIP – Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern” yang berisikan kajian spiritual mendalam . . . .
“Bebek berjalan berbondong-bondong,
Akan tetapi burung elang terbang sendirian.”
Soekarno ( 1901 – 1970 )
Bapak Bangsa/ Persiden Pertama Republik Indonesia
“Indonesia Menggugat” – Bandung 1930
Pidato Pembelaan di Muka Hakim Kolonial
Ketika seorang Bung Karno menengok ke atas, ia tidak hanya melihat langit biru, gelap atau berwarna. Ia juga melihat seekor burung elang yang sedang terbang sendirian. Demikian pula, di tengah sawah, bersama para petani dan pekerja lainnya yang sedang bercocok tanam dan berkeringat, ia pun melihat bebek-bebek yang berjalan berbondong-bondong.
Inilah hidup meditatif, hidup dengan penuh perhatian, being attentive of detail. Demikian seorang Bung Karno tidak akan pernah berhenti belajar. Dan, inilah rahasia ke-abadi-an Bung Karno.
Ya, kisah ke-abadi-an Beliau, bukan sekedar kisah sukses. Sebab Sukses adalah relatif – sukses dalam bidang apa? Materi? Punya banyak usaha, banyak mobil, banyak rumah, barangkali juga b anyak istri, selir, dan entah banyak apa lagi, itukah sukse?
Tanyakan pada mereka yang memiliki serba-banyak itu, adakah mereka juga banyak bahagia? Banyak puas dengan apa yang mereka miliki? Banyak tidur pulas setiap malam? Atau justru banyak mengonsumsi pil? Banyak pusing? Banyak gelisah? Banyak khawatir? Banyak stres?
Apakah seseorang yang banyak stres, banyak gelisah, dan banyak khawatir itu bisa dianggap sukses karena ia memiliki semua itu dalam porsi yang bisa dikatakan cukup banyak? Apakah mereka yang banyak keluar masuk rumah sakit, banyak berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater, dan banyak pusing itu bisa disebut sukses hanya kerena mereka memiliki banyak mobil, usaha, dan rumah?
Beberapa tahun yang lalu, seorang peserta workshop bertanya, “Kenapa Bapak selalu memberi contoh orang-orang asing atau orang-orang kita yang sudah lama tidak ada? Kenapa tidak memberi contoh baru?”
Saya bertanya,”Apakah Bapak punya pandangan, punya saran, kira-kira siapa saja yang mesti saya sebut sebagai contoh Manusia Indonesia yang Sukses, betul-betul sukses?”
Spontan, ia menyebut beberapa nama.
Saya mengucapkan terima kasih, saya kenal mereka semua, setidaknya pernah bertemu. Di antaranya ada juga motivator yang dianggap “sukses” memotivasi orang. Namun, saya memutuskan untuk tetap tidak menggunakan nama-nama tersebut sebagai contoh sukses. Keputusan yang tepat. Kurang dari 10 tahun, nama-nama tersebut sudah “tenggelam”.
Tenggelam, karena mereka semua mendefinisikan sukses senagai keberhasilan materi. Bahkan, urusan kepercayaan pun dikaitkan dengan materi. Membuka usaha dan melakukan perjalanan ke luar negeri hanya diberi embel-embel kepercayaan yang terlihat dan terdengar wah, padahal ujung-ujungnya urusan materi juga, duit juga.
Orang “sukses” yang tidak punya waktu bagi orang susah; tidak pernah hadir kalau diundang mereka yang berkecukupan; tidak pernah melakukan sesuatu tanpa pamrih adalah orang yang amat miskin. Mereka mungkin berhasil menumpuk harta benda, tetapi sama sekali tidak berhasil memperkaya diri dalam arti kata seungguhnya.
Apa arti sukses jika seseorang tidak memiliki rasa empati terhadap semua mahluk? Apa arti sukses, jika kita menari di atas penderitaan orang lain, bahkan merayakannya dengan menyembelih sesame mahluk hidup, mahluk-mahluk yang tidak berdaya? Apa arti sukses jika kita meraihnya dengan merusak alam, dengan mencemari lingkungan? Renungkan.
Bagaimana pula seseorang dapat belajar dari alam jika ia tidak menghormatinya, tidak berupaya untuk melestarikannya?
Saya menyusun daftar orang-orang sukses dengan memperhatikan gaya hidup mereka dan dengan memperhatikan prilaku mereka terhadap sesama mahluk hidup. Ya, sesame mahluk hidup, bukan terhadap anggota keluarga atau orang-orang yang dianggapnya segolongan saja.
Ternyata daftar itu amat sangat pendek.
Namun, bersama kita bisa bekerja untuk mengubah yang pendek menjadi panjang. Bisa. Betul bisa jika kita mau menoleh ke belakang, mau belajar dari leluhur kita, dari akar budaya dan peradaban kita yang sungguh kaya!
Ingatlah seruan Bung Karno, “Jangan lupa sejarah!”
Jangan lupa sejarah bukan untuk nostalgia dan mengagung-agungkan maa lalu melulu sebagaimana dilakukan banyak orang. Bukan, bukan itu. Jangan lupa sejarah supaya kita bisa memetik hikmah dari pengalaman-pengalaman masa lalu.
Jangan lupa sejarah sehingga kita dapat belajar dari kedua-duanya, baik keberhasilan maupun kegagalan di masa lalu. Supaya kita bisa mengulangi keberhasilan masa lalu, dan tidak mengulangi kegagalan masa lalu.
Jangan lupa sejarah supaya kita bisa memahami apa yang menjadi pedoman hidup leluhur kita yang berhasil dalam arti kata seungguhnya. Jangan lupa sejarah supaya kita dapat belajar dari mereka. Dan, salah satu pelajaran mereka yang sangat berharga adalah:
Asta Brata atau Ashta Vrata (Sanskrit) – nilai-nilai luhur hasil pengamatan mereka terhadap kinerja alam yang kemudian dijadikan pedoman hidup.
Nilai-nilai terebut bukan untuk memanipulasi otak orang, meng-heck gugusan pikiran dan perasaan atau mind orang supaya dapat dikendalikan oleh sang manipulator, sebagaimana banyak diajarkan oleh motivator-motivator keren lulusan institusi-institusi keren pula. Bukan.
Nila-nilai tersebut justru membebaskan manusia dari segala manipulasi oleh orang-orang keren, yang sering tenggelam dalam ke-keren-an mereka sendiri. Nilai-nilai tersebut mengajak kita untuk hidup lebih alami sesuai dengan kodrat kita sebagai anak alam, anak semesta.
Kepemimpinan, bagi leluhur kita, mesti dimulai dari diri sendiri, dengan belajar memimpin diri, menguasai diri, mengendalikan hawa nafsu, bukan mengumbarnya, bukan mengikuti nafsu – follow you passion – seperti yang diserukan para manipulator modern.
Asta atau Ashta berarti “Delapan”. Dan, Brata atau Vrata berarti “Resolusi” – demikian secara hatafiah. Makana yang tersirat adalah pedoman hidup atau resolusi yang kita taati untuk memandu kita dalam perjalanan hidup.
Versi tertua dari Ashta Vrata ditemukan dalam salah satu teks kuno Manusmriti atau Manava Dharma Shastra – “Kitab Nilai-Nilai Luhur Kemanusiaan” atau “Pedoman Hidup Mulia bagi Manusia” yang disuun oleh Resi/ Pemikir Manu 5.000-an tahun lalu.
Manu berarti Manusia. Kata-kata separti man, human (Inggris), manushya (Sanskrit), “manusia” (Indonesia) dan masih banyak lagi dalam bahasa-bahasa lain, semuanya berasal dari Manu.
Jika dikupas lagi, Manu juga berarti “Ia yang Berpikiran dan Berperasaan”. Ya, karena dalam bahasa Sanskrit man berarti mind atau “gugusan pikiran dan perasaan”.
Pengertiannya: Dalam siklus 5.000 tahun terakhir setelah bencana besar yang disebabkan oleh perang nuklir di Medan Perang Kurukshetra – sebagaimana dilaporkan oleh Begawan Abhiyasa atau Vyasa dalam Mahabharata – Manu penyusun Manava Dharma Shastra inilah yang meletakkan dasar-daar hukum bagi manusia siklus kita sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Kembali pada Asta Brata atau Ashta Vrata – yang awalnya menjadi bagian dari kitab Manava Dharma Shastra – sesuai dengan keadaan , zaman, dan lingkungan, delapan butir tersebut erring ditafsirkan dengan penekanan-penekanan yang berbeda, atau menggunakan idiom, terminology, dan istilah yang berbeda.
Kendati demikian, perbedaan-perbedaan tersebut tidak mengurangi nilai luhur yang ada di dalamnya, malah membuktikan bahwa nilai-nilai tersebut tidak pernah usang dan senantiasa relevan.
Versi yang lebih popoler di Nusantara adalah hasil susunan Mpu Yogishwara, seorang pujangga dari Jawa, sebagaimana disampaikannya lewat karya beliau berjudul Kakawin Ramayana. Versi ini pun sudah berusia lebih dari 1.000 tahun.
Terakhir adalah versi Keraton Surakarta. Tidak ada catatan atau rekaman sejarah yang jelas tentang penyusunannya, namun, ya, adalah Sri Pakoe Boewono III (1732-1788) yang mempopulerkannya lebih dari dua abad yang lalu.
Intinya, seorang “calon” pemimpin mesti mempelajari sifat-sifat alam berikut, dan melakoninya sendiri terlebih dahulu, sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain. Dengan terlebih dahulu memimpin diri, ia menjadi seorang Pemimpin Sejati.
So, are you ready? Siapkah Anda untuk belajar dari Alam, dari Semesta? Untuk itu, persiapan diri yang terutama dibutuhkan adalah reverence atau rasa hormat terdalam terhadap Alam Semesta.
Tanpa rasa hormat seperti itu, Anda tidak dapat mempelajari sesuatu yang berharga, sesuatu yang bernilai tinggi. Jika rasa hormat eperti itu Anda anggap tidak sesuai dengan kepercayaan Anda, maka tulisan ini sungguh tidak berguna bagi Anda.
Bagaimana?
Sangat menarik bukan!
Bagi Anda yang tertarik untuk mendalami lebih lanjut langsung saja buka lembaran demi lembaran buku “Ananda’s Neo SELF LEADERSHIP – Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern”, Anda akan terkejut dengan isi buku yang kaya dengan mutiara spiritual tersebut.
Untuk pembelian buku bisa menghubungi: WA Order: 087885111979
Sumber:
Judul Buku : “Ananda’s Neo SELF LEADERSHIP – Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern”
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2017